Pasalnya, mereka bukan termasuk pedagang farmasi besar (PFB). Hanya kategori PFB yang termasuk dalam pengawasan BPOM. Maka, perkaranya langsung diserahkan ke Polri.
Untuk kelima industri farmasi yang terbukti melakukan kelalaian fatal, BPOM melakukan tindakan hukum secara bertahap.
Kesalahan pabrik obat itu adalah tidak melakukan pemeriksaan atas mutu bahan baku obat yang akan digunakan.
Dalam kasus ini, kelimanya tak memeriksa bahwa propilen glikol yang digunakan ternyata mengandung EG dan DEG sangat tinggi. Padahal, batasnya ialah 0,1 persen. Mereka juga menggunakan jasa pemasok yang tak memenuhi persyaratan.
Berdasarkan temuan adanya ketidaksesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang industri farmasi itu, maka dikenakan sanksi administratif berupa penghentian produksi.
Selanjutnya, seluruh produk yang tak sesuai spesifikasi yang semestinya harus ditarik (recall) dari warung, toko obat, apotek, klinik, dan faskes lainnya. Selanjutnya, obat itu harus dimusnahkan.
Tahap selanjutnya, BPOM akan melakukan audit (pemeriksaan) atas dugaan adanya pelanggaran ketentuan dan persyaratan CPO.
Bila terbukti ada pelanggaran, akan dikenai sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat CPOB pada fasilitas produksi obat cairan oral nonbetalaktam. Dengan begitu, seluruh izin edar produk cairan oral nonbetalaktam dari industri farmasi tersebut dicabut.